Sumber: YouTube "Ridiculous Rides"
Semua orang tentu memiliki kreatifitasnya masing-masing. Kreatifitas satu orang tidak dapat menjadi patokan untuk menilai dan menghakimi kreatifitas orang lain. Begitu juga dalam sepanjang perjalanan saya sebagai penulis - penulis karya, penulis catatan dosen, penulis notulensi rapat dan penulis chat - yang pada awalnya tidak memiliki kreatifitas ke arah menulis, TAPI sekarang justru menjadikan tulisan sebagai hobi. Dulu sekali ketika kecil, jangankan kreatifitas, bakat minat pun saya merasa tidak punya sama sekali. Saya ingat membaca, menulis dan berhitung adalah hal yang paling saya benci, walaupun itu adalah basic skill yang harus dipelajari sejak dini. Saya ingat perasaan benci diberi pekerjaan rumah untuk menulis huruf tegak sambung di buku bergaris, disuruh menuliskan apa yang diminta guru di papan tulis hitam dengan kapur putih. Arghhh, betapa bencinya.
Ironisnya, saya juga tidak memiliki bakat minat lain yang bersifat positif, bahkan negatif. Saya tidak terlalu tertarik bermain dengan teman-teman sebaya, tidak melakukan kenakalan seperti bermain bel tetangga lalu kabur atau ambil bakso 5 ngomongnya 2. Satu-satunya kegiatan yang saya ingat sering saya lakukan adalah aktifitas layaknya manusia disaat Covid melanda: rebahan sambil melihat TV (karena pada saat itu belum ada Smartphone). Semua realita memuakkan itu terjadi hingga saya memasuki kelas 10 alias 1 SMA. Itupun karena saya merasa hidup saya hopeless dan tidak ada maknanya sama sekali hingga masuk sekolah pun sekolah swasta milik kampus negeri tempat dulu saya berkuliah - dan sekarang menjadi tempat kerja saya (Calon Dosen). Apakah sekolah swasta yang elit? Yaps, elit untuk saat ini. Tapi 10 tahun lalu? Boro-boro sekolah elit, sekolah swasta buangan! Saya bisa menduduki ranking 10 besar tes masuk disaat saya tidak diterima di sekolah manapun termasuk sekolah berbasis agama sekalipun (Madrasah Aliyah/MAN).
Namun seolah diberi kesempatan untuk memperbaiki bertahun-tahun hidup saya yang terbuang percuma, masa SMA merupakan titik balik dalam kehidupan saya. Berawal dari kelas 10 SMA yang secara ajaib saya menduduki peringkat 5 besar (yang sebelumnya saya tidak pernah masuk 10 besar dan bahkan pernah ranking 1, dari bawah). Saya yang awalnya sering dibully, mulai disegani oleh teman-teman saya. Beruntung, wali kelas saya melihat "potensi" yang tak dapat dilihat oleh diri saya sendiri (yang saya juga merasa tidak peduli juga kala itu). Saya bersama beberapa jajaran murid yang cukup berprestasi, diajak oleh Mr. Hadi (kala itu sekolah saya keminggris, memanggil guru laki-laki dengan "Mr." dan guru perempuan dengan "Mrs/Miss") untuk mengikuti ajang keilmiahan non akademik yaitu...
Olimpiade Biologi
Loh kok? Olimpiade Biologi? Saya bertanya-tanya mengapa Olimpiade Biologi? Mengapa olimpiade berbau MIPA disaat nilai ujian nasional mata pelajaran matematika saya mentok di angka 3? Saya lebih menyukai ilmu sosial, namun justru gagal di babak penyisihan tingkat sekolah untuk Olimpiade Sosiologi dan Geografi. Di Olimpiade Biologi? Raihan tertinggi yang saya peroleh adalah Semifinalis. Yah, ga bisa dibanggakan. Padahal penyelenggaranya adalah "kandang" saya sendiri, kampus yang menaungi sekolah saya. Saya ingat pulang berjalan kaki sambil melihat kompetitor saya pulang membawa piala. Tapi, kompetitor saya itulah yang justru memberi saya motivasi. Saya masih ingat dengan kata-katanya, kira-kira begini: "Telur apabila dipecahkan dari luar, maka akan membunuh kehidupan di dalamnya. Tapi kalau dipecahkan dari dalam, maka akan melahirkan kehidupan yang baru".
Lho apa hubungannya dengan kreativitas? Ya ga ada, alias ga secara langsung.
Tapi, kata-kata mutiara itulah yang kemudian memacu kreativitas saya. Wali kelas saya singkat cerita menawarkan saya dan teman-teman untuk mengikuti ajang perlombaan lain: Karya Tulis Ilmiah (KTI) - dan oleh sebab itulah saya selalu tertarik mengikuti ajang menulis walaupun seringkali gagal. Cerita lagi-lagi bermula dari event pertama yang saya ikuti yang memiliki tema kelautan - lagi-lagi sains. Tapi baru pertama kali ikut bersama 1 teman dan 1 junior yang belum pernah mengikuti lomba sebelumnya, kami langsung pecah telor. Juara 2! Kerennya, prestasi kami sampai ditulis di blog ekstra kulikuler sekolah saya dan masih dapat diakses hingga saat ini di link berikut:
https://gwishbss.blogspot.com/2013/05/prestasi-kedua-juara-dua-lkti-fpik-ub.html.
Senang? Pasti. Tapi di sisi lain juga keheranan, mengapa bisa saya "menulis" hal random - yang tentunya dibantu oleh wali kelas saya - tiba-tiba membuahkan hasil yang fantastis. Bagaimana bisa 3 kroco yang belum pernah lomba sebelumnya, tulisannya bisa dipertimbangkan bahkan dapat dipertahankan di hadapan dewan juri? Entahlah, tapi inilah titik balik kehidupan saya yang memicu kreativitas pada hobi menulis yang saya tekuni selama lebih dari 10 tahun ini. Singkat cerita, saya berhasil berkali-kali menyabet kejuaraan dan piala dengan pemikiran kritis, inovatif dan kreatif, "mengutak-atik" keilmuan berdasarkan tema lomba. Saking seringnya dipanggil ke depan ketika upacara hari Senin, kami sampai dijuluki "Mutiara" oleh kepala sekolah kami - kalau saya dijuluki "Mutiara Hitam" karena berasal dari jurusan IPS yang terkenal nakalnya minta ampun. Ingat saya cerita sekarang sekolah saya menjadi sekolah elit padahal dulunya sekolah buangan? Konon tak lepas dari kontribusi saya dan teman-teman saya baik dari ekstra kulikuler yang sama maupun yang lain seperti pentas seni dan teater. Angkatan saya dan senior saya dianggap merupakan angkatan paling kreatif yang menaikkan nama sekolah kami.
Kreativitas saya tidak berhenti hanya sampai taraf sekolah. Saya masuk kuliah berbekal nilai saya yang selalu mengalami kenaikan setiap semester dan sertifikat-sertifikat penghargaan saya. Saya diterima di Fakultas Hukum di salah satu kampus negeri terbesar di kota saya lewat jalur undangan (meskipun sampai sekarang saya ga pernah tau siapa yang ngundang dan undangannya bentuknya kayak apa: cetak apa digital, he, he, he). Saya mengambil hukum, karena apa ya, banyak orang mengira karena ingin mengikuti jejak ayah saya seorang Hakim. Tapi saya merasa ingin "di hukum" (ah elah guyonan lawas) karena hati nurani saya sendiri, karena memang saya tertarik, atau karena memang sama sekali tidak ada hitung-hitungan di bidang ilmu ini. Disini, saya mencoba mengikuti kegiatan mahasiswa berbasis kepenulisan di tingkat universitas - tapi gagal, sodara-sodara. Saya harus puas diterima di lembaga otonom mahasiswa di tingkat fakultas.
Tapi justru...
Karena saya diterima di lembaga kepenulisan tingkat fakultas, saya bisa fokus menulis isu-isu terkait dengan hukum, linier dengan bidang keilmuan yang saya pilih. Saya terkenal kreatif "mendinamisasi" hukum yang katanya sebagai ilmu yang saklek. Setelah melahap banyak teori, saya mencoba menyalurkan kreativitas saya dalam bidang kepenulisan ilmu hukum. Namun ketika mengikuti ajang kompetisi menulis JNE ini, saya jadi sadar satu hal. Kreativitas saya ada batasnya! Saya ingat kebanyakan ajang perlombaan karya tulis yang saya ikuti diselenggarakan di luar kota, melewati provinsi-provinsi, bahkan di luar pulau sana jauhnya. Saya kemudian merenung dan tersadar, saya tidak mungkin bisa bebas mengekspresikan kreativitas saya, jika saya tidak dapat mengirim hasil karya kreatif saya tersebut! Buat apa saya kreatif, jika ternyata tulisan saya yang kreatif tersebut tidak sampai di tangan panitia dan tidak dibaca oleh juri.
Dan, disinilah saya merasakan peran penting dari hal sederhana namun sering tidak diperhatikan oleh orang-orang banyak: EKSPEDISI PENGIRIMAN!
Teringat dengan faktor penting yang tak jarang terlupakan ini, saya langsung mendapat ide untuk menuliskan betapa pentingnya faktor ekspedisi pengiriman sebagai tulisan untuk dilombakan di JNE Writing Competition. Pas banget penyelenggaranya adalah jasa ekspedisi pengiriman paling terkenal se antero negeri: Tiki Jalur Nugraha Ekakurir a.k.a JNE! Saya jadi teringat, setiap kali lomba yang memicu dan memacu kreativitas saya, sudah puluhan bahkan ratusan kali saya menggunakan jasa ekspedisi pengiriman JNE ini. Bahkan di tengah kemunculan perusahaan-perusahaan pengiriman lain, saya selalu setia menggunakan JNE. Alasannya sederhana, karena tersedia pilihan pengiriman sesuai kondisi. Di kondisi normal, saya menggunakan pengiriman reguler (REG). Ketika kepepet Deadline lomba, saya langsung tanpa berpikir dua kali menggunakan layanan pengiriman YES (Yakin Esok Sampai). Ketika uang yang lagi mepet? Saya ingat dulu sering menggunakan layanan pengiriman OKE. Wuih kalau semua resi saya dulu buat ngirim lomba karya tulis dikumpulkan, pasti bisa menang undian! (kalo ada event-nya he, he)
Apalagi ada kantor pusat JNE di kota saya yang buka sampai malam, saya pernah mengirimkan karya tulis saya tengah malam bersama rekan satu tim saya. Entah kenapa ketika teringat kembali, saya merasa JNE merupakan penyelamat kreativitas saya. Membuat kreativitas saya tersalurkan kepada panitia dan juri lomba. Mengapa saya begitu bodoh baru sekarang menyadari bahwa JNE menjadi salah satu faktor yang mendukung keberhasilan saya dulu. Betapa leganya ketika saya cek resi di situs JNE, paket saya telah diterima oleh panitia. Momen-momen itu tak disadari selalu terlewatkan dan terlupakan, padahal penting perannya. Berikutnya setelah karya kreatif saya tersampaikan ke panitia lomba dan dewan juri, rupa-rupanya saya sering diundang untuk mengikuti presentasi karya tulis. Disitulah saya juga mengekspresikan kreativitas saya dan alhamdulillah seringkali menyabet juara. Bahkan, beberapa lomba diselenggarakan oleh lembaga negara seperti MPR RI, Kemendikbud, Kominfo hingga BPK RI.
Jadi intinya setelah curhat panjang x lebar x tinggi, menurut saya Kreativitas itu ternyata memiliki batas. Kreativitas menjadi percuma jika tidak tersalurkan, itulah batas dari sebuah kreativitas - ketika tidak dapat tersalurkan.
Semoga di ulang tahun yang ke-33 JNE ini senantiasa melayani pengiriman paket ke seluruh negeri, menghubungkan tangan-tangan yang tak terhubung karena terpisah jarak, dan selalu menjadi faktor penting yang terus menghubungkan kebahagiaan masyarakat untuk selalu #GasssTerusSemangatKreativitasnya.
Penulis: Fazal Akmal Musyarri, S.H., M.H.
Profesi: Staf Legal (+HR dan Marketing?) dan Calon Dosen
LinkedIn: https://id.linkedin.com/in/fazal-akmal-musyarri-16043511a
Google Scholar: https://scholar.google.co.id/citations?user=DZyu02oAAAAJ&hl=id
#JNE
#ConnectingHappiness
#JNE33Tahun
#JNEContentCompetition2024
#GasssTerusSemangatKreativitasnya