NKRI Bersyariah : Dilematika Antara Memperkuat
Kebhinekaan atau Menghidupkan Kembali Hukum Antar Golongan
Oleh : Fazal Akmal Musyarri, S.H.
Beberapa
waktu lalu pasca pecahnya momentum Aksi Bela Islam yang terjadi pada tanggal 02
Desember 2016 atau yang lebih dikenal sebagai Gerakan 212, digelar Reuni
Persaudaraan Alumni 212 dimana salah satu pentolan yang dianggap sebagai Imam
Besar, yaitu Habib Rizieq Shihab, berpidato melalui jaringan seluler meskipun
tidak hadir secara fisik karena sedang berada di Arab Saudi. Pada momentum
gelaran Reuni 212 inilah, gagasan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang Bersyariah atau NKRI Bersyariah mulai dilontarkan dan dipopulerkan.
Gagasan yang pada intinya menyerukan untuk menegakkan syariat islam di
Indonesia ini sebenarnya bukan yang pertama kalinya muncul. Gagasan ini pernah
diinisiasi oleh suatu gerakan milisi islam yang dikenal dengan sebutan Darul
Islam/Negara Islam Indonesia yang diimami oleh Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo, sebagai suatu gerakan pemberontakan yang telah ditumpas.
Kembali
lagi dengan pembahasan mengenai NKRI Bersyariah yang dikemukakan oleh Habib
Rizieq Shihab. Dalam pidatonya, Habib Rizieq Shihab menyatakan bahwasannya NKRI
Bersyariah tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945. Namun justru
terlihat menekankan kepada mengembalikan marwah Pancasila kepada Piagam
Jakarta, dimana pada sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat islam bagi pemeluknya” sehingga dikatakan NKRI Bersyariah
sama sekali tidak bertentangan dengan Pancasila, tapi NKRI yang beragama, NKRI
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, NKRI yang menjunjung tinggi nilai-nilai
luhur, dan NKRI yang tunduk dan patuh kepada hukum Allah S.W.T. Apakah konsep
NKRI Bersyariah adalah konsep yang ideal untuk diterapkan di Indonesia?
Sebelumnya,
perlu diketahui terlebih dahulu makna “Syariah” sebagai kata dasar dari
“Bersyariah”. Syariah apabila ditransliterasikan dalam Bahasa Indonesia berarti
syariat. Dalam KBBI, syariah adalah hukum agama yang menetapkan peraturan hidup
manusia, hubungan manusia dengan Allah S.W.T., hubungan manusia dengan manusia dan
alam sekitar berdasarkan Al-Qur’an dan hadis.
Sedangkan
menurut Dr.Hamid ar-Rifai’e, Syariat Islam (شركاء لا أوصياء) adalah suatu tatanan kehidupan yang mana di
dalamnya didasari oleh berbuat kebaikan pada manusia dan menegakkan keadilan.
Syariat islam secara sederhana berarti menjalani kehidupan dan mengedepankan
kemaslahatan hamba. Adapun indikator kemaslahatan seorang hamba antara lain
meliputi terjaminnya (kesehatan) akal, agama, hidup, kesehatan, dan akhlaqnya
serta kehidupan sosial kemasyarakatnya. Pengertian tersebut sesuai dengan
konsep Maqashid Syari’ah.
Syariah
secara bahasa dapat diartikan sebagai jalan, thoriqot, atau manhaj. Sedangkan
secara istilah, Syariah berarti agama, berupa apa yang dijelaskan oleh Allah
dan Rasul-Nya meliputi halal dan haram, perintah dan larangan, tujuannya adalah
untuk mengeluarkan manusia dari kesesatan kepada jalan yang terang. Hakikat
Syariah dapat ditemukan pada Q.S. Al-Jatsiyah ayat 18 yang berbunyi :
... لنخرجهم من الظلمات
إلى النور
yang artinya “..mengkuti
Rasullah dan taat kepadanya. Sehingga tidak taat padanya, sama saja tidak taat
pada agama”. Syariah bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah atau Hadits, Ijma’, dan Qiyas.
Syariah islam memiliki karakteristik sebagai berikut :
1.
Merupakan syariat
yang Rabbani (ketuhanan);
2.
Ma’shum (terjaga);
3.
Berbicara pada
hati dan pikiran manusia;
4.
Bersifat
universal;
5.
Syȃmilah, menyeluruh
segala aspek kehidupan menusia (meliputi ibadah dan mu’amalah);
6.
Mabniyyah, terkonstruk
atas dasar kemudahan dan perlindungan hajat orang banyak, menjamin kebahagiaannya,
adapun kadar kepatuhan seseorang atas agama adalah bergantung pada kemampuan
iman masing-masing.
Berdasarkan
paparan diatas, terlihat meskipun Syariah memiliki sifat yang universal, namun
tidak semua golongan diakomodir oleh Syariah sebagai suatu dasar hukum islam.
Hal ini dikarenakan Syariah yang secara konsep bertitik tekan pada hukum yang
berasal dari Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas, yang mana sumber hukum
tersebut merupakan sumber hukum dalam Hukum Islam. Lantas, bagaimana dengan
pengaturan mengenai golongan non-muslim apabila NKRI Bersyariah benar-benar
diimplementasikan di Indonesia?
Bukankah
revisi terhadap Piagam Jakarta tidak lepas dari kepentingan golongan non-muslim
pada saat itu? Didasarkan pada perjuangan bersama rakyat Indonesia dalam mewujudkan
negara Indonesia yang merdeka, sila pertama Piagam Jakarta diganti menjadi
lebih umum seperti yang terlihat pada sila pertama Pancasila saat ini.
Pergantian nomenklatur itupun didukung oleh sebagian besar Founding Fathers meskipun ada beberapa tokoh juga yang menyatakan
kontradiksinya terhadap keputusan tersebut.
Karena
sifat pengaturannya yang tidak mencakup aspek kehidupan golongan non-muslim
secara keseluruhan, maka untuk menegakkan Syariah di Indonesia memerlukan
alternatif lain, yaitu dapat dengan memberlakukan pengaturan yang berbeda untuk
golongan non-muslim. Sehingga muncul pengaturan untuk dua golongan yaitu
golongan muslim dan golongan non-muslim. Munculnya penggolongan tersebut adalah
konsekuensi logis, karena tidak mungkin Syariah dapat mengatur keseluruhan
aspek kehidupan golongan non-muslim di suatu wilayah. Lalu muncul istilah Hukum
Antar Golongan (intergentiel), seperti
yang pernah berlaku di Indonesia sebelum merdeka. Hukum Antar Golongan adalah
hukum yang digunakan untuk mengakomodasi kepentingan berbagai golongan warga
negara yang hukumnya berbeda-beda. Dulu, Belanda melalui Algemene Bepalingen (AB) dan Regelling
Reglement (RR), mengklasifikasikan penduduk menjadi tiga golongan, meliputi
Eropa, Pribumi dan Timur Asing. Secara akademis, Hukum Antar Golongan pernah
dipelajari oleh akademisi hukum di Indonesia di masa peralihan pasca penjajahan
karena waktu itu belum ada undang-undang yang mencabut keberlakuan AB dan RR.
Setelah diundangkannya Undang-Undang Kewarganegaraan, tidak ada lagi
penggolongan penduduk di Indonesia, hanya ada pembagian antara WNI dan WNA.
Lalu terjadilah unifikasi hukum di Indonesia.
Apabila
NKRI Bersyariah diberlakukan, maka Indonesia harus siap menghidupkan kembali
Hukum Antar Golongan. Bila dulu penggolongan bermotif perbedaan kedudukan
golongan, apabila di kemudian hari diberlakukan maka akan bergeser menjadi dominasi
golongan (mayoritas dan minoritas). Selain secara praktik sulit diaplikasikan
karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, jangka panjangnya dapat mengancam
integrasi bangsa karena terkesan “mayoritas memberi tempat pada minoritas”,
bukan lagi “NKRI ini milik seluruh negeri”.
Secara
praktikal, pemberlakuan NKRI Bersyariah dengan konsekuensi Hukum Antar Golongan
yang hidup kembali perlu dikaji lagi karena berpotensi menggagalkan upaya
pembinaan hukum di Indonesia. Adanya potensi konflik kepentingan antar golongan
yang dapat membidas integrasi kebhinekaan, juga dapat direnungkan sebelum diberlakukannya
NKRI Bersyariah. Lantas, siapkah Hukum Antar Golongan Indonesia kembali
dihidupkan berikut segala konsekuensinya di masa depan?
*Fazal Akmal Musyarri, S.H.
adalah mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang. Menyelesaikan studi Sarjana Ilmu Hukum pada tahun 2018 dengan
titel Cum Laude. Menyelam di bidang
penulisan dan penelitian sejak Sekolah Menengah Atas, aktif di organisasi Forum
Kajian dan Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang sebagai
pengurus dan penulis aktif. Telah menulis puluhan karya tulis baik diikutserta
dalam lomba maupun dipublikasikan.